Alamat
Jl. Margasatwa No.39 RT.1/6 Kec. Jagakarsa
Jakarta Selatan 12620
Email
info@stih-adhyaksa.ac.id
Alamat
Jl. Margasatwa No.39 RT.1/6 Kec. Jagakarsa
Jakarta Selatan 12620
Email
info@stih-adhyaksa.ac.id
Latar Belakang
Sejak masa reformasi, berbagai upaya perbaikan bidang hukum telah banyak dilakukan,diantaranya amandemen konstitusi, perubahan berbagai macam peraturan perundang-
undangan di bidang hukum dan peradilan, hingga pembentukan institusi baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK). Berbagai perbaikan ini pada perkembangannya terbukti telah memberikan
dampak yang positif terhadap bidang hukum di Indonesia.
Meskipun demikian, bukan berarti permasalahan sepenuhnya hilang. Dalam konteks hukum
pidana misalnya, terdapat beberapa tantangan yang masih muncul, seperti kelebihan
penghuni (overcrowding) pada rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, banyaknya
perkara yang diterima Mahkamah Agung, permasalahan pada pelaksanaan rehabilitasi pada
penyalahguna narkotika, ketidakjelasan pengurusan barang bukti/benda sitaan dan barang
rampasan, penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi
(SPPT-TI) yang belum optimal, dan lain sebagainya. Sementara itu, di bidang hukum perdata
terdapat permasalahan salah satunya terkait pelaksanaan eksekusi putusan perkara
perdata.
Salah satu tantangan terbesar dalam menyelesaikan permasalahan diatas adalah adanya
sifat lintas kelembagaan dalam masing-masing isu. Sebagai contoh, permasalah kelebihan
penghuni (overcrowding) pada rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, tidak bisa
tuntas jika hanya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Isu ini perlu
diselesaikan dari hulu hingga hilir, misalnya pentingnya reorientasi pemidanaan dalam
peraturan perundang-undangan, mengefektifkan kebijakan pidana non-penjara,
pembatasan penahanan pra persidangan, hingga peningkatan sarana dan prasarana.1 Hal
serupa juga berlaku pada berbagai permasalahan lainnya.
Mengingat banyaknya lembaga yang terlibat dalam isu hukum, diperlukan adanya sinergi
dalam bentuk kerjasama dan koordinasi untuk menyelesaikan tantangan yang masih terjadi
itu. Namun di sisi lain, masih disadari pula bahwa faktanya saat ini, koordinasi horizontal
antar instansi bidang hukum belum berjalan optimal. Setiap permasalahan di bidang hukum
dan peradilan masih dipandang sebagai masalah masing-masing lembaga, dimana
penyelesaian dilakukan dengan menggunakan perspektif masing-masing lembaga. Padahal,
hakikatnya masing-masing lembaga merupakan bagian dari sistem hukum dan peradilan
secara keseluruhan. Ketiadaan sinergi antar lembaga diatas juga menjadi gambaran
mengenai ketidakjelasan politik penegakan hukum dan sistem peradilan di Indonesia.
Jika ditelusuri lebih lanjut mengenai struktur kelembagaan di bidang hukum di Indonesia,
lembaga bidang hukum mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu baik itu sebelum
maupun pasca reformasi. Perubahan yang terjadi pada dasarnya sebagai upaya mewujudkan
kelembagaan yang ideal di bidang hukum agar penegakan hukum dan sistem peradilan dapat
berjalan dengan sinergi dan terintegrasi. Namun demikian untuk merumuskan kerangka
kelembagaan ideal yang memiliki kewenangan pengendali kebijakan hukum khususnya
hukum pidana (materiil dan formil) tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan antara lain:
Pertama, terdapat cara pandang konservatif yang melihat bahwa fungsi administrasi sistem
hukum sudah melekat pada masing-masing lembaga terkait. Kedua, penataan fungsi
administrasi sistem hukum hanya dapat dilakukan jika Kepolisian maupun Kejaksaan
berada dalam satu kelembagaan, dimana hal ini berpotensi menimbulkan resistensi dari
kedua institusi tersebut. Ketiga, penataan berpotensi menjadikan sistem satu atap pada
Mahkamah Agung kembali kepada sistem dua atap sebagaimana sebelum tahun 2004.
Idealnya, terdapat suatu lembaga yang diberikan peran sebagai pengendali kebijakan bidang
hukum dan peradilan dan memastikan sistem hukum dapat berjalan dengan baik. Lembaga
ini dibebankan tanggung jawab untuk menyusun perencanaan (planning) kebijakan hukum
dan peradilan serta mengidentifikasi hambatan-hambatan pada implementasinya melalui
pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Dengan demikian, sistem hukum berjalan dengan
sistematis dan terintegrasi, serta responsif terhadap permasalahan yang ada. Hal ini juga
diterapkan di banyak negara, dimana terdapat suat lembaga di cabang kekuasaan eksekutif
yang menjalankan fungsi tersebut diatas. Umumnya fungsi itu dilekatkan sebagai tanggung
jawab dari Kementerian Kehakiman (Ministry of Justice). Pelaksanaan fungsi tersebut selain
terlihat dalam mission statement dari kementerian terkait, dijabarkan pula lebih lanjut
melalui struktur organisasi tata lembaga serta tugas dan fungsi. Beberapa contoh struktur
kelembagaan terkait pada beberapa negara lain diperlihatkan melalui contoh kelembagaan
di Amerika Serikat, Belanda, Denmark, Jerman, dan Jepang.
Banyak alternatif yang dapat dilakukan dalam merumuskan desain kelembagaan yang ideal
sebagai pengendali kebijakan hukum, baik melalui penguatan kewenangan perumusan
kebijakan hukum di lingkup pemerintahan (eksekutif) atapun pada salah satu lembaga
dibidang hukum yang sudah ada, atau melakukan peleburan serta pembentukan lembaga
baru. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk menemukenali
desain kelembagaan yang dapat berperan sebagai pengatur kebijakan penegakan hukum
dan peradilan di Indonesia, khususnya pada bidang hukum pidana (materiil dan formil).