Alamat
Jl. Margasatwa No.39 RT.1/6 Kec. Jagakarsa
Jakarta Selatan 12620
Email
info@stih-adhyaksa.ac.id
Alamat
Jl. Margasatwa No.39 RT.1/6 Kec. Jagakarsa
Jakarta Selatan 12620
Email
info@stih-adhyaksa.ac.id
Jakarta – Dalam Seminar Internasional dengan tema “Driving Financial Innovations and Regulatory Framework to Enhance a Better Financial Life” di Auditorium Zamrud Khatulistiwa, Senin (16/06/2025) Prof. Christopher Johnstone dari University of Minnesota, Amerika Serikat, menyampaikan materi mendalam bertajuk “Cultural Contestation and Disability Studies”, yang menyoroti bagaimana penyandang disabilitas menghadapi ruang-ruang sosial yang sarat dengan kontestasi budaya.
Dalam pemaparannya, Prof. Johnstone mengangkat konsep-konsep Pierre Bourdieu seperti field, habitus, dan capital untuk menjelaskan bagaimana posisi sosial, kekuasaan simbolik, dan norma-norma budaya menciptakan ruang-ruang yang sering kali mengecualikan penyandang disabilitas dari kehidupan sosial yang inklusif.
Menggunakan studi lapangan di India sebagai latar, Prof. Johnstone menunjukkan bagaimana penyandang disabilitas kerap mengalami eksklusi dalam tiga bidang utama, yaitu bidang diagnostik, sosial, dan politik.
Di bidang diagnostik, disabilitas sering kali hanya dipahami melalui label medis yang menciptakan stigma, meskipun di sisi lain, label tersebut menjadi pintu untuk mengakses layanan sosial seperti kartu disabilitas. Hal ini menunjukkan adanya dualitas peran diagnosis dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas.
Sementara itu, di bidang sosial, narasi tentang disabilitas berhadapan langsung dengan norma-norma budaya yang telah mapan. Diskriminasi berbasis kemampuan (ableisme) muncul dalam teks-teks keagamaan, ritual pernikahan, hingga harapan di dunia kerja. Namun, seperti dijelaskan Prof. Johnstone, kontestasi sosial terhadap diskriminasi ini tidak terjadi secara revolusioner, melainkan bertahap dan seperti “air yang merembes ke dalam ruang padat.”
Sementara itu, di bidang politik, meskipun kebijakan berbasis hak asasi sudah diadopsi di beberapa negara termasuk India, nyatanya praktik eksklusi masih terjadi di tingkat mikro. Relasi antara anggota keluarga, pemberi kerja dan pekerja, serta antara individu dan institusi kerap menjadi titik utama terjadinya ketimpangan.
Melalui pendekatan ini, Prof. Johnstone mengajak peserta kuliah untuk melihat disabilitas bukan sekadar masalah individu, melainkan sebagai bagian dari proses sosial dan budaya yang harus dikaji secara kritis.
Sebagai penutup, Prof. Johnstone menyampaikan bahwa perubahan sosial dapat dimulai dari tindakan sederhana seperti “menamai habitus”. Ketika norma-norma lama mulai diidentifikasi dan dikritisi, maka peluang untuk menggeser budaya dominan menjadi lebih inklusif akan terbuka.
Ia juga mengajak audiens untuk merenungkan dua pertanyaan penting: Di mana kita bisa mulai menggugat habitus sosial yang tidak adil? Dan modal sosial apa yang kita miliki untuk mendorong perubahan tersebut?