Karya Ilmiah: “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” Oleh: Adery Ardhan Saputro, S.H. LL.M., Dio Ashar Wicaksana, S.H., M.A., dkk.
Lintasan sejarah dalam bidang hukum pidana mengungkapkan evolusi mengenai tindak pidana dari konsep “privat atau pribadi” atau individu menuju kepada lingkup “publik” atau sosial.
Dengan evolusi ini, tindak pidana kemudian diartikan sebagai sebuah pelanggaran hukum pidana yang diatur oleh negara, yang dalam prosesnya terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum dan diputus oleh hakim. Orientasi diberikan pada penghukuman bagi pelaku dan proses peradilan hanya berpusat pada pelaku dan negara. Dengan kerangka ini, lambat laun korban berikut pemenuhan hak-haknya mulai terabaikan.
Baru pada sekitar 1970-an, kesadaran pentingnya peran vital korban digaungkan. Publik mulai menyadari pentingnya peran korban
Gerakan korban diakui secara luas sejalan dengan lahirnya konsep Restorative Justice (RJ). Teori dan praktik RJ dianggap muncul dan dibentuk secara mengakar sebagai upaya untuk memberikan respons terhadap kebutuhan korban
Permasalahan minimnya peran korban ini juga terjadi dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP), suatu tindak pidana dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap kepentingan negara; dan negara kemudian membentuk pihak-pihak untuk melakukan penegakannya, yaitu penuntut umum memiliki kewenangan untuk menuntut tindak pidana. Orientasi ditujukan pada penghukuman bagi pelaku sedangkan hak korban terabaikan. Dalam konsep hukum acara pidana yang diatur oleh KUHAP, misalnya, korban tindak pidana hanya diposisikan sebagai saksi yang posisinya membantu penuntut umum untuk membuktikan tuntutannya.
Keluaran dari situasi ini juga bergantung pada konsep penghukuman yang diterapkan. Penghukuman yang terus digunakan adalah pidana berupa pemenjaraan (penal), yang pada akhirnya menimbulkan situasi ketergantungan yang tinggi pada penggunaan instrumen pemenjaraan tanpa basis pertimbangan kepentingan korban.
Hal ini, pada akhirnya, menyebabkan permasalahan overcrowding atau kelebihan penghuni pada Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disebut dengan Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan Lapas).
Apabila dilihat dalam Laporan Mahkamah Agung Tahun 2020, tindak pidana yang paling banyak diputus adalah tindak pidana narkotika, pencurian, dan penganiayaan. Dua jenis tindak pidana, yaitu pencurian dan penganiayaan memiliki ciri adanya korban. Dengan keberadaan korban ini, maka seharusnya RJ dapat diimplementasikan: dengan melibatkan secara aktif semua pihak dalam proses peradilan, memberikan peluang untuk pelaku dan korban memulihkan hubungannya, dan memberi kesempatan pelaku menemukan cara untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukannya terhadap korban.
Untuk tindak pidana narkotika, mayoritas merupakan pengguna narkotika, sesuai dengan rekomendasi PBB pada the United Nations General Assembly Special Session (UNGASS) 2016, negara-negara peserta telah berkomitmen untuk mengatasi permasalahan pelayanan kesehatan pengguna narkotika dengan mempromosikan dan memperkuat insiatif yang berhubungan dengan pelayanan, yaitu melalui upaya rehabilitasi, reintegrasi sosial dan program dukungan pemulihan, yang dalam hal ini juga sesuai dengan prinsip RJ.
Prinsip RJ juga telah dikenal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Salah satunya adalah dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut dengan UU SPPA). UU SPPA mendefinisikan RJ sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan mendorong pembalasan.